UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG
HAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh
ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh
pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan
martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena
itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai
kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap
masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi
dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya
mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, c, d, dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu
membentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal
27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat
(3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG HAK ASASI
MANUSIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia;
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang
apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak
asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik
jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas
suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang
atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk
diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh,
atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau
pejabat politik.
5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya
disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
BAB II
ASAS - ASAS DASAR
ASAS - ASAS DASAR
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak
yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 3
1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat
manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum.
3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun
dan oleh siapapun.
Pasal 5
1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan
martabat kemanusiaannya di depan hukum.
2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan
yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.
3. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang
rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
Pasal 6
1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 7
1. Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum
nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang
dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia
yang telah diterima negara Republik Indonesia.
2. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara
Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN
KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian Kesatu
Hak Untuk Hidup
Pasal 9
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
Bagian Kedua
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Pasal 10
1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak
bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Hak Mengembangkan Diri
Hak Mengembangkan Diri
Pasal 11
Setiap orang berhak atas pemenuhan
kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Pasal 12
Setiap orang berhak atas
perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan,
mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia
yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan
sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal 13
Setiap orang berhak untuk
mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa
dan umat manusia.
Pasal 14
1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
sarana yang tersedia.
Pasal 15
Setiap orang
berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi
maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan
pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud
tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Hak Memperoleh Keadilan
Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskriminasi,
berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili
melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum
acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 18
1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena
disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau
dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang
sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
3. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan,
maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
4. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan
hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
5. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya
dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19
1. Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam
dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.
2. Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana
penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi
suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Bagian Kelima
Hak Atas Kebebasan Pribadi
Hak Atas Kebebasan Pribadi
Pasal 20
1. Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak,
perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapUn yang tujuannya serupa,
dilarang.
Pasal 21
Setiap orang berhak atas keutuhan
pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek
penelitian tanpa persetujuan darinya.
Pasal 22
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 23
1. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya.
2. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Pasal 24
1. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan
berserikat untuk maksud-maksud damai.
2. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak
mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya
untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara
sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk
menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
1. Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau
mempertahankan status kewarganegaraannya.
2. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa
diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada
kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas
bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan
masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Hak Atas Rasa Aman
Hak Atas Rasa Aman
Pasal 28
1. Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh
perlindungan politik dari negara lain.
2. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang
bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya
2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai
manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman
dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.
Pasal 31
1. Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.
2. Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman
atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya,
hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Pasal 32
Kemerdekaan dan rahasia dalam
hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik
tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
1. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat
dan martabat kemanusiaannya
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa
dan penghilangan nyawa.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap,
ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam
tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang
menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Hak Ketujuh
Hak Atas Kesejahteraan
Hak Atas Kesejahteraan
Pasal 36
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan
masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan
sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 37
1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan
umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi
kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya
maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Pasal 38
1. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan
kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang
disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan.
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan
pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta
syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan
pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang
adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan
keluarganya.
Pasal 39
Setiap orang berhak untuk mendirikan
serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi
melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 41
1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang
dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut,
wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia
lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin
kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa
percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Bagian Kedelapan
Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Pasal 43
1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan
dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas,
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan
pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun
bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan
kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif,
dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kesembilan
Hak Wanita
Hak Wanita
Pasal 45
Hak wanita dalam Undang-undang ini
adalah hak asasi manusia.
Pasal 46
Sistem pemilihan umum, kepartaian,
pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang
eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan
yang ditentukan.
Pasal 47
Seorang wanita yang menikah dengan
seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status
kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti,
atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Pasal 48
Wanita berhak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan.
Pasal 49
1. Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam
pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan
perundang-undangan.
2. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
3. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan
fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50
Wanita telah dewasa dan atau telah
menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain
oleh hukum agamanya.
Pasal 51
1. Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai
hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan
serta pengelolaan harta bersama.
2. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak
dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
3. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak
yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta
bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kesepuluh
Hak Anak
Hak Anak
Pasal 52
1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, dan negara.
2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk
kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam
kandungan.
Pasal 53
1. Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama
dan status kewarganegaraannya.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan
atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat
kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah
menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat
intelektualitas dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Pasal 56
1. Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2. Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan
memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak
tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
1. Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat,
dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya
sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat
atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah
meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai orang tua.
3. Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Pasal 58
1. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum
dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk,
dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau
pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk,
dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak
yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
1. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang
tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada
alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak.
2. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak
anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan
orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Pasal 60
1. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya.
2. Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan
dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk
beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan dirinya.
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan
fisik dan mental spiritualnya.
Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak
dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan
sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang
membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik,
moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat aditif lainnya.
Pasal 66
1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat
dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya
secara melawan hukum.
4. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya
boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan
sebagai upaya terakhir.
5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi
sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi
kepentingannya.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk
membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan
tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB IV
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara
Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak
tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah
diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 69
1. Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
2. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban
dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal
balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukannya.
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung
jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang
diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum
internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik
Indonesia.
Pasal 72
Kewajiban dan tanggung jawab
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi
yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan
keamanan negara, dan bidang lain.
BAB VI
PEMBATASAN DAN LARANGAN
PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam
Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan
kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam
Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia
atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.
BAB VII
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pasal 75
Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan
:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak
asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia
guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Pasal 76
1. Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi
manusia.
2. Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang
profesinal, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara
hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi
manusia dan kewajiban dasar manusia.
3. Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik
Indonesia.
4. Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Pasal 77
Komnas HAM berasaskan Pancasila
Pasal 78
1. Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari :
a. sidang paripurna; dan
b. sub komisi.
2. Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal sebagai
unsur pelayanan.
Pasal 79
1. Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh Subkomisi.
2. Ketentuan mengenai Subkomisi diatur dalam Peraturan Tata
Tertib Komnas HAM.
Pasal 81
1. Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif
bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.
2. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal
dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk biro-biro.
3. Sekretariat Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri
yang bukan anggota Komnas HAM.
4. Sekretariat Jenderal diusulkan oleh sidang paripurna dan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
5. Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi
Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 82
Ketentuan mengenai Sidang Paripurna
dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 83
1. Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang
yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan
Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
2. Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang
Wakil Ketua.
3. Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari
Anggota.
4. Masa jabatan keanggotaan Komnas Hak Asasi Manusia selama
5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
Pasal 84
Yang dapat diangkat menjadi anggota
Komnas HAM adalah warga negara Indonesia yang :
a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi
orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya;
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara,
atau pengemban profesi hukum lainnya;
c. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif, dan
lembaga tinggi negara;
d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga
swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.
Pasal 85
1. Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan
keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
2. Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota
karena :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota
tidak dapat menjalankan tugas selama 1(satu) tahun secara terus menerus;
d. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana
kejahatan; atau
e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang
diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan martabat dan reputasi, dan
atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Pasal 86
Ketentuan mengenai tata cara
pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas
HAM ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 87
1. Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban :
a.
menaati ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan Komnas HAM.
b.
berpartisipasi secara
aktif dan sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM; dan
c.
menjaga kerahasiaan
keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh
berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
2. Setiap anggota Komnas HAM berhak :
a.
menyampaikan usulan dan
pendapat kepada Sidang Paripurna dan Subkomisi;
b.
memberikan suara dalam
pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Subkomisi;
c.
mengajukan dan memilih
calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dan
d.
mengajukan bakal calon
Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan
antarwaktu.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai
kewajiban dan hak anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan
dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 89
1. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan
penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan
berwenang melakukan :
a.
pengkajian dan
penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan
memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
b.
pengkajian dan
penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi
mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan hak asasi manusia;
c.
penerbitan hasil
pengkajian dari penelitian;
d.
studi kepustakaan,
studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;
e.
pembahasan berbagai
masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia; dan
f.
kerjasama pengkajian
dan penelitian dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik tingkat
nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
2. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang
melakukan :
a.
penyebarluasan wawasan
mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;
b.
upaya peningkatan
kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan
formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan
c.
kerjasama dengan
organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional,
maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang
melakukan :
a.
pengamatan pelaksanaan
hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b.
penyidikan dan
pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan
sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c.
pemanggilan kepada
pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan
didengar keterangannya;
d.
pemanggilan saksi untuk
diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan
bukti yang diperlukan;
e.
peninjauan di tempat
kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f.
pemanggilan terhadap
pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua
Pengadilan;
g.
pemeriksaan setempat
terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki
atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h.
pemberian pendapat
berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang
dalam proes peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak
asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang
kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada
para pihak.
4. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang
melakukan :
a.
perdamaian kedua belah
pihak;
b.
penyelesaian perkara
melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c.
pemberian saran kepada
para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d.
penyampaian rekomendasi
atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e.
penyampaian rekomendasi
atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Pasal 90
1. Setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat
bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan
atau tertulis pada Komnas HAM.
2. Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila
disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal
yang jelas tentang materi yang diadukan.
3. Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka
pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya
dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu
berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.
4. Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilan mengenai
pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Pasal 91
1. Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak
dilakukan atau dihentikan apabila :
a.
tidak memiliki bukti
awal yang memadai;
b.
materi pengaduan bukan
masalah pelanggaran hak asasi manusia;
c.
pengaduan diajukan
dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d.
terdapat upaya hukum
yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau
e.
sedang berlangsung
penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan
atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 92
1. Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna
melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya
penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk
merahasiakan identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta
pihak yang terkait dengan materi aduan atau pemantauan.
2. Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau
membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas
HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
3. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan
pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya tersebut
dapat :
a.
membahayakan keamanan
dan keselamatan negara;
b.
membahayakan
keselamatan dan ketertiban umum;
c.
membahayakan
keselamatan perorangan;
d.
mencemarkan nama baik
perorangan;
e.
membocorkan rahasia
negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan
Pemerintah;
f.
membocorkan hal-hal
yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan
suatu perkara pidana;
g.
menghambat terwujudnya
penyelesaian terhadap masalah yang ada, atau
h.
membocorkan hal-hal
yang termasuk dalam rahasia dagang;
Pasal 93
Pemeriksaan pelanggaran hak asasi
manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.
Pasal 94
(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang
terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d, wajib
memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku
ketentuan Pasal 95.
Pasal 95
Apabila seseorang yang dipanggil
tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat
meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 96
1. Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4)
huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk sebagai
moderator.
2. Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan
dikukuhkan oleh moderator.
3. Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat
bukti yang sah.
4. Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah
satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka
pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan
tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
5. Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 97
Komnas HAM wajib menyampaikan
laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta
kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 98
Anggaran Komnas HAM dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 99
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Tata Tertib Komans HAM.
BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 100
Setiap orang, kelompok, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan,
dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102
Setiap orang, kelompok, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan
kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau
lembaga lainnya.
Pasal 103
Setiap orang, kelompok, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi,
lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri
maupun kerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan
penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
BAB IX
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pasal 104
1. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk
dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
3. Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang
berwenang.
BAB X
KETENTUAN
KETENTUAN
Pasal 105
1. Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak diatur dengan Undang-undang ini.
2. Pada saat berlakunya Undang-undang ini :
a.
Komnas HAM yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang
ini.
b.
Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang
baru; dan
c.
Semua permasalahan yang
sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan
Undang-undang ini.
3. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya
Undang-undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta
tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 106
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDIN JUSUF HABIBIE
|
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
MULADI
|
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG
HAK ASASI MANUSIA
UMUM
Bahwa manusia
dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan
kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing
dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal
budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan
sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan
tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan
yang dilakukannya.
Kebebasan dasar
dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada
manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak
dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari
martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi
apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada
setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu
menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sejalan dengan
pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa
manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni,
aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh
karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini
berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak
asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada
tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan
pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin
hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.
Kewajiban
menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama
berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan,
hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan
memeluk agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran.
Sejarah bangsa
Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan
kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif
atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis
kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif
tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal
(dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun
horisontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam
kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human
rights).
Pada
kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan
penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari
memuaskan.
Hal tersebut
tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran
rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya.
Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan
aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan
pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa
dan/atau menghilangkan nyawa.
Untuk
melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur
Negara Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyerbarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi
berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia,
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Disamping kedua
sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah
tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang
yang mengesahkan berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia.
Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.
Dasar pemikiran
pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan
segala isinya;
b. Pada dasarnya, manusia dianugerai jiwa, bentuk, struktur,
kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin
kelanjutan hidupnya;
c. Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan
martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia,
karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya,
sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya(homa
homini lupus).
d. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi
manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia lain, sehingga kebebasan atau
hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;
e. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun
dan dalam keadaan apapun;
f. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk
menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia
terdapat kewajiban dasar;
g. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati,
dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan
pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin
terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.
Dalam
Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak
asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum
masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang
ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak
dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain
mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas
dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.
Di samping itu,
Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan
tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Dalam
Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan
dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai
perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM,
penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
Undang-undang
tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan
perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik
langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana,
perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Hak asasi manusia dan kebebasan tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi
karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan
kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara Republik
Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara
politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta
mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan apapun" termasuk perang,
sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Yang dimaksud dengan "siapun" adalah Negara, Pemerintah, dan atau anggota masyarakat.
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan "siapun" adalah Negara, Pemerintah, dan atau anggota masyarakat.
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang rentan" antara
lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan
penyandang cacat.
Pasal 6
Ayat (1)
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam
lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan
dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional
masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh
masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan
kesejahteraan rakyat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan yang dapat
ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan memulihkan
hak-haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas
HAM atau oleh pengadilan, termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan
Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terhadap
putusan pengadilan negeri tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal ini
dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan
dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat
nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedics) sebelum menggunakan
forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak
mendapatkan tanggapan dari forum hukum nasional.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak
asasi manusia.
Pasal 9
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan
taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang
belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat
luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau
berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi
atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut masih dapat diizinkan.
Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perkawinan yang sah" adalah perkawinan yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir
dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari
siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "seluruh harta kekayaan milik yang bersalah"
adalah harta yang bukan berasal dari pelanggaran atau kejahatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan "menjadi obyek penelitian" adalah kegiatan
menempatkan seseorang sebagai pihak yang dimintai komentar, pendapat atau
keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadi serta
direkam gambar-gambar dan suaranya.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hak untuk bebas memeluk agamanya dan
kepercayaannya" adalah hak setiap orang untuk beragama menurut
keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik
adalah negara yang menerima pencari suaka.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tidak boleh diganggu" adalah hak yang
berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penghilangan paksa" dalam ayat ini adalah
tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak
diketahui keberadaan dan keadaannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan "penghilangan nyawa" adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.
Sedangkan yang dimaksud dengan "penghilangan nyawa" adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hak milik mempunyai fungsi sosial" adalah
bahwa setiap penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum.
Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "tidak boleh dihambat" adalah bahwa setiap
orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk menjadi anggota atau untuk tidak
menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "berhak atas jaminan sosial" adalah bahwa
setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kemampuan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan " kemudahan dan perlakuan khusus" adalah
pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas dan sarana demi
kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Yang dimaksud dengan "keterwakilan wanita" adalah pemberian
kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya
dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum
menuju keadilan dan kesetaraan jender.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perlindungan khusus terhadap fungsi
reproduksi" adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil,
melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan hukum sendiri" adalah
cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama
Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang sama" adalah pelayanan
suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua orang tua dalam hal pendidikan,
biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak.
Yang dimaksud dengan "kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).
Yang dimaksud dengan "kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "suatu nama" adalah nama sendiri, dan nama
orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan atau nama marga.
Pasal 54
Pelaksanaan hak
anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi
kalangan yang tidak mampu.
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal
kematian salah satu seorang dari orang tuanya, atau dalam hal kuasa asuh orang
tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan
orang tuanya.
Pasal 60
Ayat (1)
Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya mencakup kegiatan produksi, peredaran, dan perdagangan sampai dengan
penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable lights) dengan memperhatikan
Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9.
Yang dimaksud dengan "kepentingan bangsa" adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Yang dimaksud dengan "kepentingan bangsa" adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Pasal 74
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan
mengambil keuntungan sepihak dan atau mendatangkan kerugian pihak lain dalam
mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan
berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh
Undang-undang ini.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "diresmikan oleh Presiden" adalah dalam
bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden dikaitkan dengan kemandirian
Komnas HAM.
Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh puluh) orang.
Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh puluh) orang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Keputusan
tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang
bersangkutan dan diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna yang
diadakan khusus untuk itu.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penyelidikan dan pemeriksaan" dalam rangka
pemantauan adalah kegiatan pencarian data, informasi, dan fakta untuk
mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik" antara lain mengenai pertanahan, ketenagakerjaan, dan lingkungan
hidup.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mediasi" adalah penyelesaian perkara
perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para pihak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pengaduan melalui perwakilan" adalah
pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili
masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar kesamaan
kepentingan hukumnya.
Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "itikad buruk" adalah perbuatan yang
mengandung maksud dan tujuan yang tidak baik, misalnya pengaduan yang disertai
data palsu atau keterangan tidak benar, dan atau ditujukan semata-mata untuk
mengakibatkan pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan atau
masyarakat.
Yang dimaksud dengan "tidak ada kesungguhan" adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah 3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah
Yang dimaksud dengan "tidak ada kesungguhan" adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah 3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan"
dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat 91) dan ayat (2), Pasal 141
ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1)
Reglemen Luar Jawa dan Madura
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan
didaftarkan oleh mediatur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Ayat (4)
Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekutif)
kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui Komnas HAM. Apabila pihak yang
bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat
dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan
tersebut.
Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui pengadilan.
Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui pengadilan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat"
adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar
putusan pengadilan (arbitrary/extra judical killing), penyiksaan, penghilangan
orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis (systematic discrimanation).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pengadilan yang berwenang" meliputi empat
lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3886
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2000
NOMOR 26 TAHUN 2000
TENTANG
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun;
b.
bahwa untuk ikut serta
memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta
memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan
ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia
untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan
ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia;
c.
bahwa pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut;
d.
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3.
Undang-undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327 );
4.
Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
Dengan persetujuan
bersama antara
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini
yang dimaksud dengan :
1.
Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2.
Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang ini.
3.
Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
4.
Setiap orang adalah
orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang
bertanggung jawab secara individual.
5.
Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu
peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna
ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
BAB II
KEDUDUKAN DAN
TEMPAT KEDUDUKAN
PENGADILAN HAM
PENGADILAN HAM
Bagian Kesatu
Kedudukan
Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Tempat Kedudukan
Pasal 3
(1) Pengadilan HAM
berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(2) Untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
BAB III
LINGKUP
KEWENANGAN
Pasal 4
Pengadilan HAM bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.
Pasal 5
Pengadilan HAM
berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia
oleh warga negara Indonesia.
Pasal 6
Pengadilan HAM tidak
berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Pasal 7
Pelanggaran hak asasi
manusia yang berat meliputi:
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Pasal 8
Kejahatan genosida
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.
membunuh anggota
kelompok;
b.
mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c.
menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh
atau sebagiannya;
d.
memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e.
memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 10
Dalam hal tidak
ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.
Bagian Kedua
Penangkapan
Penangkapan
Pasal 11
(1) Jaksa Agung
sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan
terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Pelaksanaan
tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh penyidik
dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan
alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan.
(3) Tembusan surat
perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada
keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
(4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan
tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan
tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik.
(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.
(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang
dijatuhkan.
Bagian Ketiga
Penahanan
Penahanan
Pasal 12
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum
berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan.
(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang
melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pasal 13
(1) Penahanan untuk
kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh)
hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat
diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh)
hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 14
(1) Penahanan untuk
kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama
20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat
diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 15
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 16
(1) Penahanan untuk
kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah
hukumnya.
Pasal 17
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di
Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Penyelidikan
Penyelidikan
Pasal 18
(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan
penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang
terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Pasal 19
(1) Dalam
melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik
berwenang:
a.
melakukan penyelidikan
dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang
berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat;
b.
menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti;
c.
memanggil pihak
pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar
keterangannya;
d.
memanggil saksi untuk
diminta dan didengar kesaksiannya;
e.
meninjau dan
mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap
perlu;
f.
memanggil pihak terkait
untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang
diperlukan sesuai dengan aslinya;
g.
atas perintah penyidik
dapat melakukan tindakan berupa:
1) pemeriksaan
surat;
2) penggeledahan
dan penyitaan;
3) pemeriksaan
setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang
diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4) mendatangkan
ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
(2) Dalam hal
penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu
kepada penyidik.
Pasal 20
(1) Dalam hal Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang
cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka
kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.
(2) Paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.
(3) Dalam hal
penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan
tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik
wajib melengkapi kekurangan tersebut.
Bagian Kelima
Penyidikan
Penyidikan
Pasal 21
(1) Penyidikan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
(2) Penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima laporan
atau pengaduan.
(3) Dalam
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat
mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau
masyarakat.
(4) Sebelum
melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut
agamanya masing-masing.
(5) Untuk dapat
diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat :
a.
warga negara Republik
Indonesia;
b.
berumur
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun;
c.
berpendidikan sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
d.
sehat jasmani
dan rohani;
e.
berwibawa, jujur, adil,
dan berkelakuan tidak tercela;
f.
setia kepada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g.
memiliki pengetahuan
dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 22
(1) Penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan
diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.
(2) Jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya.
(3) Dalam hal jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat
diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(4) Apabila dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dari
hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
(5) Setelah surat
perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka
kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi
hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.
(6) Dalam hal
penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat diterima
oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak
mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Penuntutan
Penuntutan
Pasal 23
(1) Penuntutan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat
mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau
masyarakat.
(3) Sebelum
melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji
menurut agamanya masing-masing.
(4) Untuk dapat
diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat :
a.
warga negara Republik
Indonesia;
b.
berumur
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun;
c.
berpendidikan sarjana
hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;
d.
sehat jasmani
dan rohani;
e.
berwibawa, jujur, adil,
dan berkelakuan tidak tercela;
- setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
dan
g.
memiliki pengetahuan
dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 24
Penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat
70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
Pasal 25
Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada
Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat.
Bagian Ketujuh
Sumpah
Sumpah
Pasal 26
Sumpah penyidik dan
Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan
Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut :
"Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun
juga".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan
jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan
menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Umum
Umum
Pasal 27
(1) Perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim
pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan.
Pasal 28
(1) Hakim ad hoc
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua
Mahkamah Agung.
(2) Jumlah hakim ad
hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 12 (dua belas)
orang.
(3) Hakim ad hoc
diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
Paragraf 2
Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Pasal 29
Untuk dapat diangkat
menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:
1.
warga negara Republik
Indonesia;
2.
bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
3.
berumur
sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun;
4.
berpendidikan sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
5.
sehat jasmani dan
rohani;
6.
berwibawa, jujur, adil,
dan berkelakuan tidak tercela;
7.
setia kepada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
- memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak
asasi manusia.
Pasal 30
Hakim ad hoc yang
diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum melaksanakan
tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing yang
lafalnya berbunyi sebagai berikut :
"Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada
siapapun juga".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan
jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak mem-beda-bedakan orang, dan akan
menjunjung tinggi etika profesi dalam
melaksanakan kewajiban
saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Paragraf 3
Acara Pemeriksaan
Pasal 31
Perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM
dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak
perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM.
Pasal 32
(1) Dalam hal
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke
Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan
perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan
Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Jumlah hakim ad
hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
12 (dua belas) orang.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal
30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 33
(1) Dalam hal
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah
Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan
perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang
berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga)
orang hakim ad hoc.
(3) Jumlah hakim ad
hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 3
(tiga) orang.
(4) Hakim ad hoc di
Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(5) Hakim ad hoc
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan
selama 5 (lima) tahun.
(6) Untuk dapat
diangkat menjadi hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung harus memenuhi syarat :
a.
warga negara Republik
Indonesia;
b.
bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
c.
berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
d.
berpendidikan sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
e.
sehat jasmani dan
rohani;
f.
berwibawa, jujur, adil,
dan berkelakuan tidak tercela;
g.
setia kepada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
h.
memiliki pengetahuan
dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
BAB V
PERLINDUNGAN
KORBAN DAN SAKSI
Pasal 34
(1) Setiap
korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari
pihak manapun.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara
cuma-cuma.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap
korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KOMPENSASI,
RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 35
(1) Setiap korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan
dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3) Ketentuan
mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
Setiap orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh)
tahun.
Pasal 37
Setiap orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh)
tahun.
Pasal 38
Setiap orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima)
tahun.
Pasal 39
Setiap orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima)
tahun.
Pasal 40
Setiap orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling
singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 41
Percobaan, permufakatan
jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal
40.
Pasal 42
(1) Komandan militer
atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi
Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang
efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan
pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
- komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui
atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan
tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; dan
- komandan militer atau seseorang tersebut tidak
melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan,
baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif,
karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara
patut dan benar, yakni :
- atasan tersebut mengetahui atau secara sadar
mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang
melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat; dan
- atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak
dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat
yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3) Perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan
Pasal 40.
BAB VIII
PENGADILAN HAM
AD HOC
Pasal 43
(1) Pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini,
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM
ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden.
(3) Pengadilan HAM
ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 44
Pemeriksaan di
Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Untuk pertama
kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan
Makassar.
(2) Daerah hukum
Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan
Negeri di:
a.
Jakarta Pusat yang
meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah;
b.
Surabaya yang meliputi
Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur;
c.
Makassar yang meliputi
Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya;
d.
Medan yang meliputi
Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
BAB X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 46
Untuk pelanggaran hak
asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak
berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.
Pasal 47
(1) Pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini
tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
(2) Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang.
Pasal 48
Penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah
atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 49
Ketentuan mengenai
kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini.
Pasal 50
Dengan berlakunya
Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 51
Undang-undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
pada tanggal 23 Nopember 2000
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN
WAHID
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
pada tanggal 23 Nopember 2000
SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2000
NOMOR 26 TAHUN 2000
TENTANG
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
I. UMUM
Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR-RI Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab
sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dan asas-asas hukum internasional.
Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan
kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk
menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan melalui
pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM serta Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia tersebut, telah dibentuk Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan Undang-undang tersebut merupakan
perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan Undang-
undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban
tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang
mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara
Republik Indonesia.
Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan
nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan
masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan
perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dasar pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat
melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi
dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman baik bagi
perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.
Pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan
pada pertimbangan sebagai berikut :
- Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan
"extra ordinary crimes" dan berdampak
secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan
merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun
immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketenteraman,
keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia;
2.
Terhadap perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah-langkah
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
3.
Kekhususan dalam
penanganan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah :
a.
diperlukan penyelidik
dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim
ad hoc;
b.
diperlukan penegasan
bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
c.
diperlukan ketentuan
mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan;
d.
diperlukan ketentuan
mengenai perlindungan korban dan saksi;
e.
diperlukan
ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat
digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi
hak asasi manusia itu sendiri berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-undang ini mengatur pula tentang
Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.
Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan Peradilan
Umum.
Di samping adanya Pengadilan HAM ad hoc, Undang-undang ini menyebutkan juga
keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam
Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan
undang-undang dimaksudkan sebagai lembaga ekstra-yudicial yang ditetapkan
dengan undang-undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan
mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada
masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai
bangsa.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan "memeriksa dan memutus" dalam ketentuan ini
adalah termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi,
dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara
Indonesia yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini.
Pasal 6
Seseorang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun yang melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Negeri.
Pasal 7
"Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan" dalam
ketentuan ini sesuai dengan "Rome Statute of The International Criminal
Court" (Pasal 6 dan Pasal 7).
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan "anggota kelompok" adalah seorang atau lebih
anggota kelompok.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 9
Yang dimaksud dengan "serangan yang ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil" adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap
penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang
berhubungan dengan organisasi.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pembunuhan" adalah sebagaimana tercantum
dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pemusnahan" meliputi perbuatan yang
menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa
perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perbudakan" dalam ketentuan ini termasuk
perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa" adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran
atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal
secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan "penyiksaan" dalam ketentuan ini adalah
dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang
berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang
berada di bawah pengawasan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksud dengan "penghilangan orang secara paksa" yakni penangkapan,
penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau
persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk
mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi
tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan
dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "kejahatan apartheid" adalah perbuatan tidak
manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam Pasal
8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan
dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok
ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah dalam waktu 24 (dua
puluh empat) jam terhitung sejak tersangka ditangkap.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Kewenangan penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena
lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat
independen.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "unsur masyarakat" adalah tokoh dan anggota
masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan menghayati
di bidang hak asasi manusia.
Pasal 19
Pelaksanaan "penyelidikan" dalam ketentuan ini dimaksudkan
sebagai rangkaian tindakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam lingkup
projustisia.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menerima" adalah menerima, mendaftar, dan
mencatat laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, dan dapat dilengkapi dengan barang bukti.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan "perintah penyidik" adalah perintah tertulis
yang dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik dan penyidik segera
mengeluarkan surat perintah setelah menerima permintaan dari penyelidik.
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
"Penggeledahan" dalam ketentuan ini meliputi penggeledahan badan
dan atau rumah.
Angka 3)
Cukup jelas
Angka 4)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
·
Dalam ketentuan ini
yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" adalah bukti
permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
- Dalam penyelidikan tetap dihormati asas praduga tak
bersalah sehingga hasil penyelidikan bersifat tertutup (tidak
disebarluaskan) sepanjang menyangkut nama-nama yang diduga melanggar hak
asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 92 Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
·
Yang dimaksud dengan
"menindaklanjuti" adalah dilakukannya penyidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kurang lengkap" adalah
belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk
dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud "unsur masyarakat" adalah
terdiri dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan tinggi.
Kata "dapat" dalam ketentuan ini dimaksudkan agar Jaksa Agung
dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penuntut umum ad hoc dari unsur masyarakat diutamakan diambil dari mantan
penuntut umum di Peradilan Umum atau oditur di Peradilan Militer.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai
dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam "Demi
Allah" sebelum lafal sumpah dan untuk agama Kristen/Katolik kata-kata
"Kiranya Tuhan akan menolong saya" sesudah lafal sumpah.
Pasal 27
Ayat (1)
Lihat penjelasan
Pasal 4
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar majelis hakim selalu berjumlah
ganjil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
"Hakim ad hoc" adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karier
yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi,
menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan
keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar
manusia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Yang dimaksud dengan "keahlian di bidang hukum" adalah antara
lain sarjana syariah atau sarjana lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Pasal 30
Lihat penjelasan
Pasal 26.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Lihat penjelasan
Pasal 29 Angka 4.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
·
Yang dimaksud dengan
"kompensasi" adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena
pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya.
·
Yang dimaksud dengan
"restitusi" adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa :
a. pengembalian
harta milik;
b. pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau
c. penggantian
biaya untuk tindakan tertentu.
·
Yang dimaksud dengan
"rehabilitasi" adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya
kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Yang dimaksud dengan "permufakatan jahat" adalah apabila 2 (dua)
orang atau lebih sepakat akan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad
hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus
dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang
ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ketentuan dalam Pasal
ini dimaksudkan untuk memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, dilakukan di luar Pengadilan HAM.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Dalam ketentuan ini
dimaksudkan hanya berlaku untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan
yurisdiksinya berlaku bagi siapa saja baik sipil maupun militer.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4026
KATA PENGANTAR
Dalam rangka
menuju Indonesia Baru yang dimulai dengan era reformasi yang berpijak pada asas
demokrasi pada satu sisi dinilai sangat mendesak untuk menyadarkan semua pihak
tentang apa dan bagaimana HAM itu sendiri.
Berangkat dari
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa tahun 1948 yang memberikan pengakuan atas martabat kodrati
hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga sebagai
landasan hakiki bagi kebebasan dan perdamaian dunia. Deklarasi PBB tentang HAM
menggariskan, bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta
hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendak untuk
saling mengenal, bergaul satu sama dalam semangat persaudaraan.
Sejalan dengan
itu, Majelis Permusyawarakatan Rakyat Indonesia nomor XVII tahun 1998 telah
menetapkan tentang “hak asasi manusia” dan dalam pasal 3 TAP MPR RI tersebut
menyebutkan, bahwa penghormatan, penegakan dan penyebar luasan hak asasi
manusia oleh masyarakat atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai
warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kemudian dalam
Undang-undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang “hak asasi
manusia” dalam pasal 67 ditegaskan, bahwa setiap warga negara di wilayah
Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak
tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah
diterima oleh Republik Indonesia.
Mudah-mudahan
publikasi ini dapat memberikan secercah manfaat bagi pembaca yang budiman, dengan
harapan agar semua pihak dapat memahami dan mengamalkan nilai-nilai HAM
tersebut secara utuh.
Jakarta, Mei 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar